Foto : (VoA) |
SAJAK SECANGKIR AIR MATA
Secangkir air mata
Kutuang dalam gelas
Warna perak
Tak sebanding denganmu
Kan tinggalkan suatu kenangan
Dalam rimba duka
Pendakian Seulawah, 14 Desember 2005
WAJAH ACEH DALAM PUISI
Kujajaki jalan-jalan warna merah
Merambah duka-duka sepanjang pantai Aceh
Kulewati mayat-mayat dalam rintik hujan air mata
Deru suara bising memanggil Anak, Ibu,
Ayah, Suami, Isteri dan handai taulan
Dengan berat hati
Kulihat mayat-mayat terluka
Tak ada jalan lain yang tersisa
dari puing-puing reruntuhan besi baja
dan hancuran batu bata
Kulihat lentangan bayi-bayi
Bersama desah nafas panjang
Lantunkan doa-doa
Kuseberangi anganku
mencari hidup baru
dari serpihan yang tersisa
Aceh Utara, 26 Desember 2004
26 HARI DI AKHIR 2004
Ombak tak seputih permata
Ombak tak seramah cinta
Ombak marah mengamuk
Lalu permata jadi duka
Itu teguran buat kita
Ombak tak seramah dulu
Indah menawan
Ombak telah jadi hiu
Menerkam daratan
Banyak orang meninggal
Itu takdir Tuhan
Kota telah jadi belantara derita
Pemukiman bagai mimpi buruk
Ya Allah terimalah doa kami
Bukakan pintu hati kami
untuk tabah jalani hidup dari reruntuhan
dari bayi yang kehilangan pelukan bundanya
Kita semua kehilangan…
Aceh Utara, 26 Desember 2004
SEPANJANG LUKA-LUKA
Doa mengalir lewat jendela batu nisan
yang terapung sepanjang sungai dan laut Aceh
Bersemayam lagu-lagu pilu
Sepanjang luka-luka
Sepanjang luka-luka ayah kami
Sepanjang luka-luka ibu kami
Sepanjang luka-luka abang kami
Sepanjang luka-luka adik kami
Sepanjang luka-luka saudara kami
Sepanjang luka-luka tanah Aceh
Aceh Utara, 26 Desember 2004
0 Response to "Puisi Tsunami Aceh Sajak Secangkir Air Mata"
Posting Komentar