Indonesia sebagai negara sedang berkembang dinilai masih sangat rendah indeks kegemaran membaca di dunia menurut hasil survei UNESCO baru-baru ini. Organisasi UNESCO ini merupakan sebuah lembaga Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan. UNESCO sendiri merupakan sebuah organisasi internasional di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani semua hal yang berhubungan dengan pendidikan, sains, serta Kebudayaan.
Dikutip dari laman https://www.kompas.com Tingkat literasi masyarakat memiliki hubungan vertikal terhadap kualitas bangsa. Tolak ukur kemajuan serta peradaban suatu bangsa adalah budaya membaca yang telah mengakar pada masyarakatnya. UNESCO menyatakan dari 1000 orang penduduk Indonesia, ternyata hanya satu orang yang memiliki minat baca. Indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Masyarakat Indonesia rata-rata membaca 0-1 buku setiap tahun. Berbeda dengan warga negara Amerika Serikat yang terbiasa membaca 10-20 buku setahun, sedangkan warga Jepang 10-15 buku setahun. Ini merupakan sebuah tragedi. Hal ini memastikan bahwa literasi masih termarjinalkan pada lanskap ekonomi dan politik negara kita.
“Membaca adalah jendela dunia, dengan membaca kita mengenal dunia yang jauh di luar sana.” Itulah sebuah kalimat yang tepat untuk memotivasi pembaca agar gemar berliterasi. Membaca merupakan pilar penting yang harus ditingkatkan dalam upaya pengembangan literasi. Sejatinya membaca merupakan transmisi ilmu pengetahuan dari sebuah buku atau karya tulis ke dalam pikiran seseorang. Wawasan yang dimiliki oleh seseorang dapat diperoleh dari seorang guru atau melalui membaca. Seperti dalam sebuah peribahasa disebutkan "Buku adalah gudang ilmu, kuncinya adalah membaca." Dengan demikian, jika seseorang ingin pintar dan berwawasan berarti harus selalu akrab dengan guru, buku, dan dunia perpustakaan.
Mana mungkin suatu negara akan maju, jika mutu pendidikan dan wawasan warga negaranya masih rendah. Maka untuk meningkatkan kemajuan dan kemajuan pendidikan perlu upaya-upaya yang sistematis dalam memajukan literasi. Mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela pernah berkata: "Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk memajukan peradaban sebuah bangsa." Ia menyadari bahwa pendidikan adalah jalan terbaik untuk gerbang kemajuan sebuah bangsa.
Padahal jauh-jauh hari sebelum masyarakat di dunia bagian benua Amerika dan Eropa mengenal tradisi membaca yang dalam konteks modern disebut literasi. Islam sudah memerintahkan membaca sejak lebih dari 1400 tahun yang lalu. Sejak Allah Swt menurunkan wahyu Al-Qur'an ayat pertama "iqra" berikut, yang artinya : "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan." (QS Al-'Alaq : 1).
Membaca merupakan ajaran luhur agama Islam yang diperintahkan oleh Allah Swt kepada baginda Rasulullah Muhammad Saw dan umatnya. Hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama pelopor pertama yang mengajak manusia untuk membaca.
Memahami dan Mengenal Literasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri, literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Namun, makna kata literasi tidak hanya dipahami sebagai kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga sebagai pemahaman yang lebih kompleks dan dinamis.
Faktanya, terdapat berbagai macam definisi literasi yang dilahirkan dan dicetuskan oleh beberapa pihak, salah satunya adalah menurut National Institute for Literacy yang membantu untuk memahami bahwa kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah berada pada tingkat keterampilan yang dibutuhkan oleh pekerjaan, keluarga, dan masyarakat merupakan definisi dari apa itu literasi? Pemahaman inilah yang menempatkan literasi dalam lingkungan kontekstual. Selain membaca dan menulis, literasi juga mendukung konteks lingkungan.
UNESCO memberikan pengertian literasi sebagai kumpulan keterampilan nyata, khususnya keterampilan dalam membaca dan menulis yang terlepas dari konteks di mana keterampilan itu diperoleh, siapa yang memperolehnya, dan bagaimana cara memperolehnya. Sementara itu, Education Development Center (EDC) memahami literasi lebih dari sekedar kemampuan baca tulis. Literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan keterampilan yang dimiliki dalam hidupnya. Sejalan dengan kemampuan tersebut, ketika seseorang dapat memaknai literasi, seseorang dapat membaca dunia.
Ditinjau dari segi bahasa literasi berasal dari Bahasa Inggris " literate " yang berasal dari Bahasa Latin " litera " berarti penguasaan sistem penulisan dan kesepakatan tentang penggunaannya. Literasi adalah kemampuan seseorang dalam mengelola potensi yang dimilikinya dalam membaca atau menghitung. Literasi juga disebut sebagai melek huruf karena literasi ini merupakan kemampuan dasar untuk mencari ilmu atau pengetahuan.
Peluncuran Buku Karya Siswa SMAN 1 Lhokseumawe (6/10/2023) |
Literasi Dunia Islam
Di antara keagungan Islam adalah adanya warisan yang ditinggalkannya; baik berupa peninggalan fisik yang menunjukkan adanya peradaban ( hadharah ) atau pun warisan yang bersifat kebudayaan ( tsaqafah ) yang lebih menampilkan tingkah laku dan tradisi. Di sisi lain ada warisan agung berupa kisah intelektual yang lebih menampilkan adanya sejumlah karya para ilmuwan ( turats ).
Secara umum, budaya literasi adalah budaya tulis yang dibaca dengan segala aktivitasnya yang dilakukan generasi belakangan dalam mengkaji apa yang ditinggalkan oleh para pendahulunya; baik dalam masalah agama, pemikiran, akhlak, peraturan-undangan, adab, sastra, kesenian dan lain-lainnya.
Tradisi ilmiah semacam ini, para ahli mengatakan dengan budaya literasi sebagaimana yang telah dicapai para cerdik pandai (Al-'Allamah, Al-'Ulama ) dalam bentangan karya-karya mereka yang tersebar di seantero jagat, sehingga bumi ini penuh dengan khazanah intelektual yang berlimpah . Karya-karya semacam ini, para ahli menyebutnya dengan warisan intelektual.
Dalam pemahaman Barat, literasi adalah hasil sebuah peradaban umat masa lampau yang perlu dikaji ulang menurut barometer keilmuan kontemporer. Maka menurut mereka, termasuk di dalamnya peradaban Yunani, Fir'aun, India dan Persia masuk di dalamnya.
Sarjana Muslim dan Budaya Literasi
Tidak ada alasan untuk menjauhkan budaya literasi dari kehidupan sarjana muslim, kaitan keduanya laksana kolam dengan ikannya. Ikan akan mati-apabila kolam tidak dirawat dengan baik. Demikian pula dalam kehidupan pembelajaran; Malasnya para sarjana dalam menghidupkan membaca, menulis, berdiskusi, menganalisis dan aktivitas lainnya dapat menyebabkan kemalasan berpikir yang dapat menjadikan miskinnya gagasan, bahkan matinya gagasan.
Apabila iklim seperti ini tidak segera dipulihkan, maka yang terjadi adalah lahirnya sarjana-sarjana yang kehilangan jiwa kemandiriannya; sepi kreatifitasnya, mati inovasinya dan cara instan berfikirnya. Para salaf terdahulu, sangat menitikberatkan agar menjadi kaum pembelajar.
Seorang Milan Kundera tokoh novelis asal Ceko berkata: “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah”. Ini menunjukkan bahwa buku sebagai unsur literasi memegang peranan penting dalam memajukan suatu bangsa. Melalui buku, masyarakat terlebih para sarjana akan mampu menembus batas-batas kehidupan dunia. Selain itu, bahwa sebagai bagian dari masyarakat akademis, para sarjana ini mempunyai kewajiban membaca.
Semua peradaban di dunia tidak lepas dari kemampuan membaca dan menulis manusia yang hidup di zamannya. Seiring dengan perkembangan kemampuan literasi itulah, peradaban manusia terbangun.
Dalam catatan sejarah saat masa keemasan Islam tidak terlepas dari keilmuan budaya membaca, meneliti, menulis dan berdiskusi. Masa emas ini bersamaan dengan terjadinya fluktuasi dan kegelapan di benua Eropa dan Amerika. Tokoh-tokoh besar Islam sangat produktif dalam berkarya di berbagai bidang. Bahkan karya literasi tokoh-tokoh Islam terus dipelajari hingga kini. Seperti karya Imam Syafii, Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Maliki, Ibnu Khaldun, Imam Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Taimiyah, dan masih banyak lagi.
Tokoh Literasi Islam
Tokoh
literasi Islam pertama tentu saja Zayd bin Tsabit, sekretaris Rasulullah Muhammad
Saw. Ia dikenal atas kontribusinya menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an pada zaman Nabi
Muhammad Saw. Zayd menjadi salah satu otoritas terkemuka dalam penulisan Al-Qur’an.
Sampai-sampai Umar ibnu Khattab menyebut siapapun yang ingin bertanya tentang
Al-Qur’an, harus merujuk Zayd bin Tsabit untuk klarifikasi. Sementara, Zayd
tidak asing di kalangan penghafal Al-Qur’an laki-laki, para sahabat perempuan
memiliki figur Ummu Salamah, Hafsah binti Umar, dan Aisyah binti Abu Bakar,
yang hafal seluruh kitab suci.
Ada lagi
Hafsah binti Sereen, juga dikenal memegang otoritas utama dalam dunia literasi
Islam. Hafsah adalah budak yang dimerdekakan oleh Anas bin Malik dan diketahui
telah menghafal Al-Qur’an pada saat usia 12 tahun, dia juga seorang muhadits dan fuqaha (ahli
hukum Islam).
Tokoh
lain yaitu Abu ad-Dardaa’, juga dikenal karena kekayaan ilmu pengetahuan dan
kesalehannya. Karena semangatnya terhadap agama Islam, ia bertekad merawat
gadis yatim piatu yang kemudian dikenal sebagai Umm ad-Dardaa’. Umm ad-Dardaa
menemani Abu ad-Dardaa’ belajar berbagai bidang pengetahuan dan ibadah,
menyerap pengetahuan para ulama saat masih remaja.
Literasi
Islam juga berkembang pesat di zaman keemasan Baghdad pada masa kekhalifahan
Harun al-Rasyid (789 M-809 M). Di masa itu gerakan intelektual adalah faktor
yang mempengaruhinya. Gerakan intelektual itu ditandai oleh proyek penerjemahan
karya-karya berbahasa Persia, Sanskerta, Suriah, dan Yunani ke dalam bahasa
Arab. Dimulai dengan karya mereka sendiri tentang ilmu pengetahuan, filsafat,
atau sastra.
Perlu
diketahui, universitas pertama yang didirikan di dunia didirikan oleh seorang
wanita muslim bernama Fatima al-Fihri pada 859 M. Sekolah tersebut menjadi
salah satu pusat spiritual dan pendidikan terkemuka dalam sejarah dunia muslim.
Namanya
Universitas al-Qarawiyyin atau al-Karaouine di Fes, Maroko. Lembaga ini
diakui oleh Guinness Book of Records dan
UNESCO. Al Qarawiyyin masuk ke sistem universitas modern Maroko pada tahun 1963
M.
Apa yang
dilakukan para sahabat seperti Zayd, Hafsah, dan Umm ad-Dardaa', dan
tokoh lain adalah aktualisasi literasi Islam pada saat usia mereka muda. Namun
karyanya sungguh luar biasa bagi kemajuan peradaban manusia. Hal yang perlu
diteladani dari tokoh intelektual muslim adalah niat mereka untuk belajar agama tidak pernah goyah. Mereka juga memiliki guru dan mentor hebat yang bertekad untuk menjaga terangnya
cahaya ilmu pengetahuan. (tengkuhamdani@yahoo.com, Hamdani Mulya Alumni FKIP, Bahasa dan Sastra Indonesia,
Universitas Syiah Kuala).
Profil Penulis
Hamdani Mulya adalah nama pena dari Hamdani, S.Pd lahir di desa Paya Bili, Kec. Meurah Mulia, Kab. Aceh Utara pada 10 Mai 1979. Hamdani adalah penulis buku Cerdas Berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Unimal Press Lhokseumawe tahun 2011, penulis buku Bahasa Indatu Nenek Moyang Ureueng Aceh yang diterbitkan oleh Afkaribook Banda Aceh tahun 2017 dan novel Pengantin Surga diterbitkan oleh Magzha Pustaka Yogyakarta, 2018. Saat ini Hamdani mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di SMAN 1 Lhokseumawe.
0 Response to "Kontribusi Dunia Islam dalam Literasi"
Posting Komentar